Banyak dari kita terbawa dalam kisah-kisah dengan analisis yang tidak memenuhi syarat keilmuan, tanpa sanad yang jelas, bahkan bertentangan dengan akidah Islam. Ada yang mengisahkan orang semedi di kali ( Sungai ) selama beberapa lama, ada yang dapat berubah jadi cacing, ada yang dapat merubah pasir menjadi lebah, ada yang dapat membuat pohon pinang menjadi emas dan sebagainya.
Pembahasan singkat ini akan mengajak pembaca mengetahui hakikat wali Allah l dan juga menjelaskan bahwa di samping wali Allah l ada wali setan. Sekaligus, tulisan ini membantah serta membimbing dua kelompok manusia dan selain mereka—akan disebut di bawah ini—, untuk kemudian menumbuhkan keyakinan agar mereka kembali beriman dan bertakwa kepada Allah l, insya Allah.
Pertama, sebagai bantahan terhadap dua kelompok yang telah keluar dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Allah l. Dua kelompok itu adalah sebagai berikut.
a. Ahli tafrith, yaitu orang-orang yang menganggap enteng serta meremehkan orang yang beriman dan bertakwa. Kedudukan wali Allah l di hadapan ahli tafrith tidak jauh beda dengan pelaku maksiat, kesyirikan, dan kebid’ahan. Padahal Allah l menyatakan:
“Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa?” (al-Qalam: 35)
“Patutkah Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah pula Kami menjadikan orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 28)
b. Ahli Ifrath, yaitu orang-orang yang berlebihan (ghuluw) dalam menyikapi wali Allah l, termasuk juga orang-orang yang mengultuskan wali Allah l tersebut sehingga mengangkatnya ke derajat ilah (sesembahan). Diserahkan kepadanya beraneka ragam peribadatan seperti cinta, takut, pengagungan, harapan, doa, penyembelihan, dsb.
Kedua, membimbing orang-orang yang keliru dalam memberikan pangkat kewalian kepada orang yang tidak pantas mendapatkannya. Padahal gelar yang pantas diberikan kepadanya adalah wali setan. Jumlah yang seperti ini di masyarakat sangatlah banyak.
Ketiga, memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa bahwa selama dia berada di atas iman dan takwa maka dia tetap dalam kewalian Allah l. Walaupun derajat kewalian itu berbeda-beda pada tiap orang tergantung tinggi rendah iman dan takwanya.
Definisi Wali
Kata “wali” bila ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata “al-wilayah” yang artinya adalah kekuasaan dan daerah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sikkit t. Atau terambil dari kata “al-walayah” yang berarti pertolongan.
Menurut syariat, wali (wilayah, walayah) artinya kedudukan yang tinggi di dalam agama yang tidak akan dicapai kecuali oleh orang-orang yang melaksanakan tuntunan agama baik secara lahir maupun batin.
Dari sini, wilayah (kewalian) memiliki dua sisi pandang:
1. Sisi yang terkait dengan hamba, yaitu melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan, kemudian secara bertahap dia meningkatkan ubudiyahnya kepada Allah l dengan amalan-amalan sunnah.
2. Sisi yang terkait dengan Allah l, yaitu Allah l akan mencintainya, menolongnya, dan mengokohkannya di atas sikap istiqamah. (Madkhal Syarh Ushul I’tiqad, 9/7)
Siapakah Wali Allah l?
Al-Imam ath-Thabari t mengatakan, “Wali Allah l adalah orang yang memiliki sifat seperti yang telah disebutkan Allah l yaitu beriman dan bertakwa.” (Tafsir ath-Thabari, 11/132)
Ibnu Katsir t mengatakan, “Wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah l tentang mereka sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/422)
Al-Baidhawi t berkata, “Wali Allah l adalah orang-orang yang mewujudkan ketaatan kepada Allah l dan orang-orang yang diberikan segala bentuk karamah.” (Tafsir al-Baidhawi, hlm. 282)
Ibnu Rajab al-Hambali t mengatakan, “Wali Allah l adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah l dengan berbagai amalan yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hlm. 262)
Ibnu Abil ‘Izzi t berkata, “Wali Allah l adalah orang yang selalu melaksanakan segala yang dicintai Allah l dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala perkara yang diridhai-Nya.” (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 360)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan, “Wali Allah l adalah orang yang berilmu tentang Allah l dan terus-menerus di atas ketaatan kepada-Nya dengan mengikhlaskan peribadatan.” (Fathul Bari, 11/342)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Wali Allah l adalah orang yang beriman dan bertakwa.” Dalam kesempatan lain, beliau berkata, “Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber-wala’ (loyal) kepada Allah l. Mereka mencintai segala yang dicintai-Nya, membenci segala yang dibenci-Nya, ridha terhadap segala yang diridhai-Nya, murka terhadap segala yang dimurkai-Nya, memerintahkan kepada segala yang diperintahkan-Nya, mencegah segala yang dicegah-Nya, memberi kepada orang yang Dia cintai untuk diberi, dan tidak memberi kepada siapa yang Dia larang untuk diberi.” (al-Furqan dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hlm. 329)
Asy-Syaikh Hafizh Ibnu Ahmad al-Hakami t mengatakan, “Wali Allah l adalah setiap orang yang beriman kepada Allah l, bertakwa kepada-Nya, dan mengikuti Rasulullah n.” (A’lamus Sunnah al-Mansyurah, hlm. 192)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Wali Allah l adalah orang-orang yang telah dijelaskan dalam firman-Nya (Yunus: 62—63).” Beliau menukilkan ucapan Ibnu Taimiyah t, “Barang siapa yang beriman dan bertakwa, dia adalah wali Allah l.” (Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 626)
Dari beberapa ucapan ulama di atas, sangat jelas bagi kita siapa yang dimaksud dengan wali Allah l. Semua ucapan ulama tersebut tidak saling bertentangan walaupun ungkapannya berbeda-beda. Semua pendapat mereka bermuara pada firman Allah l:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62—63) [al-Furqan dalam kitab Majmu’atut Tauhid hlm. 339]
Siapakah Wali Setan?
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu t berkata, “Wali setan adalah orang-orang yang menyelisihi Allah l dan orang-orang yang tidak mematuhi anjuran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka adalah ahli bid’ah, berdoa kepada selain Allah l, mengingkari kemahatinggian Allah l di atas ‘Arsy-Nya, memukul tubuh mereka dengan besi, memakan api, serta (perbuatan) lainnya dari amalan-amalan orang Majusi dan setan.” (al-‘Aqidah al-Islamiyah, hlm. 36)
Allah l telah menjelaskan dalam Al-Qur’an pada banyak ayat tentang ciri-ciri dan sifat mereka serta apa yang diperbuat oleh tentara-tentaranya.
Dalil-Dalil Adanya Wali Setan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t membawakan dalil yang banyak tentang keberadaan wali setan di dalam kitab beliau al-Furqan Baina Auliya ar-Rahman wa Auliya asy-Syaithan, sebagaimana beliau juga membawakan dalil tentang wali Allah l, ciri-ciri mereka, dan karamah yang Allah l berikan kepada mereka.
Allah l berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Karena itu, perangilah wali-wali setan karena sesungguhnya tipu daya setan lemah.” (an-Nisa’: 76)
“Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pelindung) selain Allah, maka ia menderita kerugian yang nyata.” (an-Nisa’: 119)
“Sesungguhnya mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (al-A’raf: 27)
Masih banyak lagi nash yang menjelaskan keberadaan wali setan di tengah-tengah orang yang beriman. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Barang siapa mengaku mencintai Allah l dan ber-wala’ kepada-Nya namun tidak mengikuti Rasulullah n maka dia bukan wali Allah l. Bahkan barang siapa yang menyelisihi Rasulullah n maka dia adalah musuh Allah l dan wali setan.”
Kemudian beliau berkata, “Walaupun kebanyakan orang menyangka mereka atau selain mereka adalah wali Allah l. (Namun) mereka bukanlah wali Allah l.” (al-Furqan dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hlm. 331)
"Kalau kita meneliti tulisan-tulisan yang dibukukan tentang wali songo justru menyebutka jumlahnya tidak hanya sembilan melainkan lebih dari itu sehingga penyebutan wali songo yang artinya wali sembilan ternyata tidak baku. Silsilah wali songo telah di tulis oleh banyak penulis dan banyak yang saling bertolak belakang dan masing-masing penulis berbeda dalam sajian tulisannya, karena memang sumber aslinya tidak lain adalah tradisi lisan, sehingga keabsahannya dipertanyakan diantara silsilah wali songo yang terkenal adalah;
1. Maulana Malik Ibrahim / Syaikh Maghribi / Sunan Gresik / Makdum As-Samarqandy.
2. Suna Ampel / Raden Rahmat yang konon adalah putra Sunan Gresik.
3. Sunan Bonang dan
4. Sunan Drajat yang keduanya diperkirakan sebagai putra sunan Ampel.
5. Sunan Kudus yang belum jelas diketahui silsilahnya.
6. Sunan Giri yang diperkirakan putra Maulana Ishaq, saudara seayah Sunan Gresik.
7. Sunan Kalijaga
8. Sunan Muria yang dierkirakan sebagai putra sunan kalijaga.
9. Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah yang diperkirakan masih senasab dengan sunan Ampel.
Adapun versi lainnya yang juga bersumber dari mulut ke mulut yang juga tidak dapat dipastikan keabsahannya ;
1. Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.
4. Maulana Muhammad al-Magribi, dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il dari Turki
6. Maulana Muhammad Ali Akbar dari Persia ( Iran ).
7. Maulana Hasanudin dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin dari Palestina.
9. Syeikh Subakir dari Iran ahli menumbali daerah angker yang di huni Jin.
Silsilah versi yang kedua jarang diekspos padahal justru rujukannya lebih kuat daripada silsilah versi pertama sebagaimana yang ditulis Asnan Wahyudi dan Abu Khalid yang keduanya menemukan sumber naskah dari dari sumber orisinil yang tersimpan di Istana Istambul, Turki. Semua silsilah yang dipaparkan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apabila wali songo benar-benar ada, maka bukan berarti peristiwa-peristiwa aneh yang disandarkan pada mereka adalah benar menurut syara’, karena sebelum kita menukil kisah-kisah diatas ada dua hal yang harus dipenuhi yaitu ;
1. Harus ada bukti konkrit berupa sanad yang jelas bahwa peristiwa tersebut benar terjadi pada mereka bukan hanya dongeng yang simpang siur dan sampai sekarang hal ini belum terpenuhi.
2. Kalau peristiwa itu memang ada maka tidak boleh menyelisihi syariat sedangkan sesuatu yang aneh apabila menyelisihi syariat maka itu bukan karomah tetapi bantuan jin dan syetan yang sengaja menyesatakan manusia dari jalan yang lurus.
Kebanyakan kaum muslimin kalau mendengar kalimat Wali terbayang di benak mereka seorang yang alim, taqwa, suka berdzikir, dan beribadah dan memiliki kelebihan yang luar biasa yang tidak dimiliki kebanyakan manusia yang biasa di sebut Karomah. Sehingga di antara mereka menganggap yang namanya wali Allah harus sakti mandraguna, tidak mempan peluru ataupun bacok, mampu berjalan di air, bisa terbang, memiliki tenaga dalam dan segudang kedigdayaan lain yang mereka banggakan.
Akhirnya banyak para santri yang terperosok kejurang nista oleh bisikan syetan. Mereka menjadi para santri penuntut karomah wali dan ingin memiliki karomah, sehingga melupakan tujuan awalnya yaitu menuntut ilmu syar’i. Bagi mereka yang penting adalah mendapatkan guru yang sakti mandraguna tanpa mengindakan aturan syar’i yang telah di jelaskan oleh Allah melaui Rasul-Nya serta para Ulama. Bahkan tidak jarang kita mendengar jawaban seorang santri ketika ditanya tentang sebab dia nyantri di kyai fulan ? , Dia menjawab : ” karena nyantri disana hanya 3 bulan langsung jadi” . Maksudnya nyantri hanya 3 bulan dia akan menjadi seperti gurunya yaitu sebagai wali Allah yang memiliki “karomah” (menurutnya).
Adapun makna Wali Allah yang sebenarnya adalah Seorang yang selalu dekat dengan Allah yang selalu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Adapun anugrah kewalian diberikan kepada siapa saja yang di kehendaki dan di cintai Allah, semakin taat seseorang kepada Allah, semakin tinggi tingkat kewaliannya akan tetapi seorang wali Allah tidak harus memiliki karomah. dan tidak adanya karomah bukan berarti menurunkan martabatnya sebagai wali Allah. Karomah adalah anugrah Allah yang diberikan kepada para Wali-Nya yang dikehendaki, banyak orang salah paham akan hal ini, sehingga adanya karomah seseorang menjadi tolak ukur sebagai wali Allah dan mengabaikan tolak ukur yang hakiki yaitu ketaqwaannya, padahal justru ketaqwaan seseorang itulah yang menentukan apakah dia wali Allah atau Wali Syetan.
Untuk itu perlu di bedakan antara karomah buat orang yang bertakwa dan istidraj yang merupakan bantuan jin dan syetan-syetan untuk orang-orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan sebagai ba’la serta ujian bagi mereka yang berakhir pada kebinasaan. Karomah terjadi pada seseorang yang tidak mengklaim dirinya sebagai wali Allah hal ini lantaran klaim sebagai wali Allah termasuk penyucian diri menganggap dirinya suci dihadapan Allah padahal hal ini termasuk dilarang oleh Allah dan orang yang melanggar larangan Allah bukanlah orang yang bertaqwa sedangkan karomah harus dari orang yang bertaqwa. Sebagaimana firma-Nya; “Janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling tahu siapa orang yang paling bertaqwa” ( QS an-Najm 32 ).
Mustahil karamah terjadi pada orang-orang fasik,yang berbuat kemaksiatan secara terang-terangan, atau meminta pertolongan kepada selain Allah, dan ini termasuk perbuatan orang-orang musyrik. Lalu bagaimana orang seperti ini menjadi wali-wali Allah. Karamah tidak juga dapat didapatkan secara warisan dari nenek moyang, namun karena keimanan dan amal shalih. Kebal terhadap pedang atau memakan api yang dipertontonkan oleh para ahli bid’ah adalah merupakan perbuatan setan dan orang-orang majusi. Itu adalah istidraj bagi mereka agar mereka terus terjeramab dalam kesesatan. Allah berfirman
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ (36)
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya ( Az-Zukhruf 36)
Aksi-aksi seperti itu tidaklah diakui oleh Islam karena tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Perbuatan-perbuatan semacam ini termasuk bid’ah yang diada-adakan yang telah dinyatakan oleh beliau Rasulullah dalam sabda beliau,
عن العرباض بن سارية قال: صلى بنا رسول الله ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah rodhiallahu’anhu ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang akan engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berpesan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa setia mendengar dan taat ( pada pemimpin/penguasa , walaupun ia adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat“. (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)
Orang-orang kafir di India dapat melakukan lebih dari itu, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Bathuthah dalam ar-Rihlah karyanya, juga seperti yang dikisahkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab-kitabnya. Apakah mereka juga disebut Wali-wali yang memiliki karamah ? itu semua adalah perbuatan setan,istridraj untuk pelakunya agar semakin sesat. seperti yang Allah firmankan
قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلَالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَٰنُ مَدًّا ۚ
Katakanlah: “Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.(QS Maryam 75)
Wali, dalam pemahaman banyak orang adalah orang yang diatas makamnya ada kubah besar atau orang yang diamakamkan dimasjid kemudian para penjaga makam si wali ini menisbatkan sebagian karamah tertentu yang terkadang tidak benar demi meraup uang. Pemikiran tentang pembuatan kubah-kubah adalah bid’ah oleh kalangan ad-Duruz yang menyebut diri mereka Fathimiyyin ( keturunan Fatimah ) bertujuan untuk memalingkan orang-orang dari masjid, sebagian besarnya dusta dan tidak berdasar. Bahkan makam Husain mereka sebut-sebut berada di Mesir, padahal beliau mati syahid di Irak.
Sedangkan mengubur jenazah di Masjid adalah merupakan perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang Rasulullah telah melarang hal tesebut dalam sabda beliau :
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata),’Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid. (HR Bukhari)”
“Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu dari perbuatan itu.(HR Muslim)”
“Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR Bukhari)”
“Aisyah dan Ibnu Abbas ra berkata, “Tatkala Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika beliau dalam keadaan itulah, Nabi SAW bersabda, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR Bukhari dan Muslim)”
Dan sebagian orang mengira bahwa Rasulullah dimakamkan di Masjid. Ini salah besar, karena Rasulullah di makamkan di rumah beliau. Makam tersebut tetap demikian hingga datang Umawiyun, 80 tahun setelah itu. Mereka memperluas masjid dan memasukan makam beliau ke area masjid.
Sesungguhnya banyak diantara kaum Muslimin memakamkan jenazah di Masjid, terlebih bila yang meninggal adalah seorang Syaikh.Setelah beberapa lama masanya itu, lantas mereka thawaf disekitar makam, bukan kepada Allah sehingga mereka pun jatuh dalam kesyirikan, padahal Allah berfirman,
Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Al Jin(72):18
Jadi, Masjid dalam Islam bukanlah tempat untuk mengubur jenazah, akan tetapi untuk shalat dan menyembah Allah semata. Rasulullah bersabda,
” Janganlah kalian shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.” ( HR.Muslim, no 972)
Dengan demikian, tidak sah shalat di masjid yang ada kuburnya.
Siapa Syekh Siti Jenar ?
Kalau seseorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat dijadikan tolok ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan.
Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak mustahil kalau Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang Berternak Kambing Ettawa menerangkan seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa.
Judul buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”.
Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis buku juga setia dengan ketentuan seperti itu.Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6, Bab Satu tidak relevan..
Bab Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi: Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya.
Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan musti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu, halaman 3-10). Di dalam paragraf tersebut diterangkan asal-usul Syekh Siti Jenar tidak jelas.
Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shofiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Di dalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut. Kejanggalan- kejanggalan itu adalah:
1. Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2. Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha.
Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama.. Pada hal ajaran kedua agama itu sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut.
Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang “raja pendeta” yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi.
4. Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang “raja pendeta” menyihir anaknya menjadi cacing.
pendeta” Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing?
Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam mu apakah yang dimiliki “raja yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya?
Cerita seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan Mbonang yang bocor.. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar biasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban, sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di tempat lain dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di perahu yang sedang terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel perahu bocor dengan tanah? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan (membawa) cacing.
6. Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pernah diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali.
Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung.
Al hasil, seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, di samping tempat lahirnya, di mana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar.
Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah Abang itu sampai sekarang tidak pernah jelas; padahal tokoh terkenal yang hidup pada jaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada, mengapa kita ber-tele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al Qur’an dan Hadits yang amat jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi muatan ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia.
Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid, maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya.
Oleh karena itu sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al Qur’an dan kerosulan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam.
Silsilah Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II, putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo.
Itulah asal usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa.
Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau tidak dijumpai dalam media cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan cerita mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah tersebut tidak tersedia.
Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa.
Sejarah Jawa banyak bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali.. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum atau penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung.
Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di desa kelahiran ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan.
Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan.
Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek.
Mengapa demikian?
Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci.
Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo..
Seorang pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam.
Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melain sholat da’im.
Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa illaha ilalloh kapan saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud.
Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo.
Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar.
Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti tertulis di dalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu Joko Katong yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo.
Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito) , Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.
Walisongo
Sekali lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik.
Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.
Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian oleh penan putri yang tidak menutup aurat.
Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan “kecelek” (merasa tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinil yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki.
Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I.
Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja..
Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah.
Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404.
Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7.. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina..
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat (??).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa.
Ternyata memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh siapa, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya.
Dengan informasi baru itu menjadi jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu.
Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam. Oleh karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain, termasuk gerakan Syekh Siti Jenar.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto.
Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis.
Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal di masyarakat tidak berkembang sama sekali.
Memahami Al Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari dengan ilmu. Penafsiran Al Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka.
Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo agama yang dianut kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti.
Di samping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh (telah diterangkan sebelumnya).
Sampai dengan era Singasari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme yang juga sering disebut Agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat Buda dan Ja mewakili agama Jawa.
Nampaknya sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa akhir decade 1950-an dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme yang melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan.
Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar.
Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng- kan kepada salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti telah disebutkan di muka.
Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha- Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil potongan-potongannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr Abdul Munir Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu logika dan aqidah.
Pernyataan-pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya singgung di muka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah Ketua sebuah organisasi Islam besar.
Misalnya pernyataan yang menyebutkan: “ngurusi” Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya.
Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an awal.
Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan.
Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rosululloh juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik, secara ritual saja. Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu hablum minannaas wa hablum minalloh.
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian.
Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibanding dengan mempelajari fikih atau syariat.
Islam tidak mengkotak-kotakkan antara fikih, sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleksnya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al Qur’an. Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh belajar Qur’an.
Di sini nampaknya penulis lupa bahwa untuk belajar Al Qur’an, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al Qur’an yang memenuhi kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz Umar Budiargo, ustadz Mustafa Ismail, dan banyak lagi, khususnya alumni universitas Timur Tengah.
Jangan belajar Al Qur’an dari pengikut ajaran Syekh Siti Jenar karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan untuk melawan Islam.