Musdar Bustamam Tambusai
Masih ada yg suka mempermasalahkan profesi
sebagai peruqyah dalam konteks ke-Indonesia-
an...
Padahal ulama yg membolehkan ruqyah sbg hirfah
(profesi) juga ada...
Syaikh Usamah ibn Yasin al-Ma'ani menegaskan
bahwa ini masalah ijtihadi..
Syaikh Abdul Aziz ibn Baaz dlm kaset ceramahnya
yg berjudul "Liqa al-Ahibbah" mengatakan bahwa
tafarrugh (mendedikasikan diri) sbg peruqyah
boleh-boleh saja jika ada mashlahatnya....
Demikian pula Syaikh al-'Utsaimin dalam kasetnya
"Liqa al-Qurra'" berpendapat yg sama....
Syaikh Muhammad ash-Shayim (ulama Al-Azhar)
yg tinggal di Mesir bahkan menjadi praktisi ruqyah
yg produktif menulis buku ttg jin dan thibbun
nabawi...
Profesionalisme beliau dlm menjalankan praktik
ruqyah tergambar dlm bukunya "Al-Hiwar ma'a
asy-Syayathin wa Tajribatiy al-'Amaliyyah fi I'raaj
al-Jaan wa Ibthaal as-Sihr" (Dialog dengan Setan
dan Pengalamanku dlm Mengeluarkan Jin dan
Membatalkan Sihir)....
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali yg berdomisili di
Mesir juga seorang praktisi ruqyah...
Menurut saya, yang tidak boleh adalah seorang
peruqyah meninggalkan kegiatan berdakwah
melalui ta'lim dan mengisi pengajian..
Dalam profesinya sbg praktisi pengobatan,
seorang peruqyah tidak berbeda dengan seorang
dokter dalam beberapa hal berikut :
1. Keduanya sama-sama praktisi pengobatan.
Dalam kitab-kitab hadits, terapi ruqyah masuk
dalam bab ath-thibb
(pengobatan).
2. Jika dokter sbg praktisi medis boleh
mendapatkan upah, maka seorg
peruqyah pun boleh mendapatkan upah. Ini sudah
final.
3. Baik dokter maupun peruqyah, wajib memahami
profesinya dgn baik.
Jgn sampai seorg peruqyah melakukan mall
praktik dlm profesinya.
Itu lebih berbahaya dr mall praktik seorng dokter
medis.
4. Bukan hanya seorang peruqyah yg ditekankan
harus ikhlas, shalih
dan bertqwa. Dokter juga seperti itu. Krn yg
menyembuhkan semua
penyakit adalah Allah, baik medis maupun non
medis...
Kalau ada yg mempermasalahkan profesi sbg
peruqyah, cobalah menghadirkan sebuah solusi yg
dapat dijadikan sbg pilihan umat utk
menyelesaikan masalah mereka selama 24 jam....
Jika tidak ada peruqyah yg siap setiap saat
menangani hal-hal yg bersifat non medis, kemana
mereka harus mencari penyelesaian ?...
Khusus Indonesia, tentunya, perdukunan masih
mendominasi jiwa masyarakat dlm berbagai
urusan, tdk hanya masalah gangguan jin..
Khususnya Indonesia, kita tahu bahwa
masyarakatnya masih jauh dari al-Qur'an dan
bahkan masih banyak yg ber-Islam sekedar ikut-
ikutan..
Jika umat Islam Indonesia, sudah cerdas dalam
beragama, barulah tidak perlu seorang peruqyah
krn masing 2 sudah pandai meruqyah...
Melalui ruqyah - sbgmana pengalaman saya -
sudah banyak yg tercerahkan.
Profesi sbg peruqyah di Indonesia memiliki
mashlahat ...
Tapi, seorang peruqyah haruslah orang yg benar-
benar berilmu terkait profesinya. Wallahu a'lam.