Bermacam pandangan telah mewarnai
bursakewalian, ada yang berpandangan bila
seseorang telah memiliki halhal yang luar biasa
berarti dia telah sampai pada tingkat
kewalian,seperti tidak luka bila dipukul dengan
senjata tajam dan sebagainya.
Sebagian orang
berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan
surban berarti sudah wali, sebagian lain
berpendapat bila seseorang suka berpakaian
kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula
yang berpandangan bila seseorang kerjanya
berzikir selalu berarti dia wali.
Dan banyak lagi
pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak
dapat kita sebutkan satu persatu di sini.
Wali secara etimologi (bahasa) berarti dekat.
Adapun secara terminologi (istilah) menurut
pengertian sebagian ulamaahlussunah, wali
adalah orang yang beriman lagi bertakwa
tetapibukan Nabi.
Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman
lagi bertakwa adalah wali Allah, dan wali Allah
yang paling utama adalah para Nabi, yang paling
utama diantara para Nabi adalah para Rasul,
yang paling utama di antara para Rasul adalah
Ulul ‘Azmi , yang paling utama di antara Ulul‘Azmi
adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Maka para wali Allah tersebut memiliki
perbedaan dalam tingkat keimanan mereka,
sebagaimana mereka memiliki tingkat yang
berbeda pula dalam kedekatan mereka dengan
Allah.
Maka dapat disimpulkan di sini bahwa
wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:
Golongan pertama , Assaabiquun Almuqarrabuun
(barisanterdepan dari orang-orang yang dekat
dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-
hal yang mandub (sunnah) sertamenjauhi hal-hal
yang makruh di samping melakukan hal-hal yang
wajib .
Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan
kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan
melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta
menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa
melakukan hal-hal yang sunnah atau menjauhi
hal-hal yang makruh. Kedua golongan ini
disebutkan Allah dalan firmanNya:
“(Artinya) Adapun jika ia termasuk golongan yang
dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh
ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan.
Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan.
Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan” .
(QS.Al Waaqi’ah, ayat: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut
amalan dan perbuatan mereka kepada dua
bagian; wali Allah dan wali setan.
Ciri-ciriWali Allah
Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam
firmanNya:
“Ingatlah; sesungguhnya para waliwali Allah
Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa
se dih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi
bertakwa” .
(QS. Yunus: 62-63).
Ciri pertama, Beriman, artinya keimanan yang
yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai
bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya
sekedar pengakuantetapi keimanan yang
mengantarkan kepada takwa. Landasan keimanan
yang pertama adalah Dua Kalimat Syahadat.
Maka orang yang tidak mengucapkannya atau
melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat
tauhid tersebut adalah bukan wali Allah.
Seperti
menjadikan wali sebagai perantara dalam
beribadah kepada Allah,atau menganggap bahwa
hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik
dari hukum Islam. Atau berpendapat semua
agama adalah benar.
Atau berkeyakinan bahwa
keNabian dan keRasulan tetap ada sampai hari
kiamat, bahwa Muhammad bukan penutup segala
Rasul dan Nabi.
Ciri kedua, Bertakwa , artinya ia melakukan apa
yang diperintah Allah dan
menjauhi apa yang dilarang Allah, melakukan hal-
hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan
amalan amalan sunnah. Oleh sebab itu jika ada
orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia
meninggalkan beramal kepada Allah maka ia
termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali
setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang
tidakpernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Baik dalam bentuk shalatmaupun
zikir, dll.
Ciri-ciri Wali Setan
Adapun ciri wali setan adalah orang yang
mengikuti kemauan setan , mulai dari melakukan
syirik dan bid’ah sampai berbagai bentuk
kemaksiatan. Sebagaimana Allah terangkan
dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan
wahyu kepada para wali-wali mereka :
“(Artinya) Sesungg uhnya setan-setan itu
mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk
membantahmu, jika kamu menaati mereka,
sesungguhnya kamu menjadi orang-orang
musyrikin”. (QS . Al An’aam,ayat: 121).
Terkadang setan membisikan walinya untuberdo’a
dikuburan orang-orang shalihdengan dalih untuk
menghormati wali.
Sesungguhnya menghormati
wali bukanlah dengan berdoa dikuburannya, justru
ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri
karena telah menyekutukannya dengan Allah.
Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang
wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang
Nabi? Jelas Nabi lebih tinggi. Jangankan
meminta kepada wali, kepada Nabi sekalipun
tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati,
di waktu hidup saja, Nabi tidak mampu
mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri,
apalagi untuk orang lain setelah mati! Kalau hal
itu benar tentulah para sahabat akan
berbondong-bondong kekuburan Nabi shallallahu
‘alaihiwa sallam saat mereka kekeringan atau
kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi
kenyataan justru sebaliknya , saat paceklik
terjadidi Madinah , Umar bin Khaththab mengajak
kaum muslimin melakukan shalat istikharah
kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib
berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi,
bukannya Umar meminta kepada Nabi.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam
menyesatkan wali-walinya adalah dengan
memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan
bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur
yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui
apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah
yang didustakan atas nama beliau, namun kita
tidak mengingkari kalau memang ternyata benar
beliau seorang wali, yang kita cermati adalah
kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan
sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat
puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian diakhir
persemedian beliau mendapatkan karomah.
Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah
bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau
shalat berarti telah meninggalkan shalat
berjama‘ah dan shalat Jum’at? Adakah petunjuk
dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan
persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan
shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan
shalat Jum’at.
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum
( terbebas ) dari segala kesalahan, sehingga
mereka menerima segala apa yang dikatakan
wali.
Dengan pemahaman seperti ini,
terjadilahpengkultusan sang kiai atau sang guru
danpembenaran kesesatan yang dilakukan
olehsang kiai atau sang guru sekali punperbuatan
tersebut nyata-nyatamelanggarAl-Qurandan
Sunnah.
Bahkan dikisahkanbila seorang murid
melihat sangguru minum khamar,
makasebenarnya ia minum susu,tapi yang salah
adalahpenglihatan sang muridkarena
matanyaberlumuran dosa,begitulah orang
orangsufimelakukan doktrin dalammenyebarkan
kesesatanmereka.
Sesungguhnya para ulama
telah sepakat tiada yang maksum dari umat
manusia kecuali para Nabi dan Rasul dalam hal
menyampaikan wahyu yang mereka terima.
Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“setiap anak Adam adalah pasti bersalah , dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
mau bertaubat” . (HR. AtTirmidzy no. 2499).
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti
memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Seorang
wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh
jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi
wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran
agama, bukan berarti kita mengingkari adanya
karomah, tapi yang kita ingkari adalah asumsi
banyak orang bila ia tidak memiliki karomah
berarti ia bukan wali.
Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al-
Jurjaany berpesan:
“Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan
penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih
condong untuk mencari karomah , padahal
Tuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan
orang terdepan dalam barisan para wali tidak
memiliki karomah.
Begitu pula Rasulullah sebagai
hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu
berhijrah beliau mengendarai unta bukan
mengendarai angin, begitu pula dalam
perperangan beliau memakai baju besi bahkan
pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah
bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali.
Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh
jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk
menambah keyakinannya kepada ajaran Allah,
atau pertolongan dari Allah terhadap orang
tersebut dalam kesulitan.
Para ulama
menyebutkan seseorang yang tidak butuh,kepada
karomah lebih baik dari orang yang butuh
kebanyakan para ulama salaf bila mereka
mendapat karomah justru mereka bersedih dan
tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal
tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula
mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi
menerima balasan amalan mereka setelah mereka
menerima waktu didunia dalam bentuk karomah.
Begitu pula bila mereka diberi karomah, mereka
justru menyembunyikannya bukan
memamerkannya atau berbangga diri di hadapan
orang lain. Banyak orang berasumsi bila
seseorang dapat melakukan hal-hal yang luar
biasa, maka dia dianggap wali yang memiliki
karomah. Padahal belum tentu, boleh jadi itu
adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan
jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin
dan setan tersebut.
Seperti ada orang yang bisa
terbang atau berjalan di atas air atau tahan pe
dang atau bias memberi tahu tentang sesuatu
yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati
adalah bagaimana amalannya, apakah amalannya
sehari-hari menurut Sunnah atau tidak ?
Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i:
“Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air
atau terbang di udara maka ukurlah amalannya
dengan Sunnah”.
Diriwayatkan dalam kisah seseorang bernama
Mukhtar bin Abi ‘Ubaid.
Dia mengaku sebagai
Nabi yang menerima wahyu, lalu seseorang
berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:
Sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan ke
padanya wahyu ? Dua orang sahabat tersebut
menjawab : Benar (wahyu dari setan), kemudian
salah seorang dari mereka membaca firman Allah:
“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa
turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap
pendusta yang banyak dosa” . (QS. Asy Syu’araa:
221-222).
Dan yang lain membaca firman Allah,
“Dan sesungguhnya para setan itu Mewahyukan
kepada wali wali mereka untuk membantahmu” .
( QS. Al- An’aam:121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia
tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur
kebenarannya dengan Al-Quran dan Sunnah.
Karena Nabi menyebutkan dalam sebuah hadits :
“ Sesungguhnya dalamdiri anak Adam terdapat
bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat” .
(HR. At-Tirmidzy no. 2988)
Berkata Abu Sulaiman Ad-Daraany:
“Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di
hati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak
menerimanya kecuali dengan dua saksi dari Kitab
dan Sunnah.”
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat
mengetahui hal-hal yang gaib. Asumsi ini sangat
bertolak belakang denganfirman Allah,
“Di sisiNya (Allah) segalakunci-kunci yang gaib ,
tiada yang dapatmengetahuinya kecuali Dia
(Allah)” . (QS. Al- An’aam, ayat :59).
Dan firman Allah,
“Katakanlah, tiada seorang pun di langit maupun
di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib
kecuali Allah” . (QS. An Naml: 65).
Termasuk para Nabi dan Rasul sekalipun tidak
dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas
apa yang diwahyukan Allah kepada mereka.
Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita,
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian
bahwa di sisiku
gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak
mengetahui hal yang gaib”. (QS. Al- An’aam: 50).
Dan firman Allah:
“Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku
manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan
jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib
tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang
amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa
kejelekan” . (QS. Al-A’raaf: 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak
manusia kejalan kesyirikan,
sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali
dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan
berdoa kepada wali yang sudah mati. Yang pada
hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena
meminta kepada makhluk adalah syirik.
Tidak ada
bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh
kaum Nuh ‘alaihis salam . Dan orang-orang kafir
Quraisy pada zaman jahiliyah.
Dengan
argumentasi yang sama bahwa mereka para wali
itu orang suci yang akan menyampaikan doa
mereka pada Allah.
Hal inilah yang dilakukan
kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan
Allah dalam firmanNya :
“Ingatlah ; milik Allahlah agama yang suci (dari
syirik), dan orang-orang mengambil wali
(pelindung) selain Allah berkata : kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya” . (QS. Az-Zumar: 3).
Tulisan ini diringkas secara bebas dari tulisan
Ustadz Dr. Ali Musri, MA. yang berjudul: “Syarh
Hadits Wali”
sumber: http://www.muslim.or.id