Yang dimaksudkan disini bukan sebagai roqi’ bagi diri dan keluarganya.
Apabila sudah bersentuhan atau terjun langsung dengan masyarakat luas, terkadang mayarakat terkadang juga bertanya diluar topik ruqyah, tetapi jika roqi' tersebut berbicara tanpa ilmu diluar kapasitasnya dan berat untuk mengatakan "laa adri "saya tidak tahu, atau wallahu a'lam dikarenakan sudah dipanggil ustadz oleh pasiennya, atau mad’unya atau para netter di media sosial, hal inilah yang berbahaya. Memang benar, sampaikanlah walau hanya satu ayat, tapi masalahnya menyampaikan pula diluar bidang kapasitas ilmu dien lainnya. Akhirnya berbicaralah tanpa ilmu.
Walaupun ruqyah menurut sebagian kalangan adalah bagian dari pengobatan (Ilmu muammalah) namun tidak bisa pula dibuka seluas-luasnya, sehingga siapapun bisa berimprovisasi dan berkreasi dengan semata – mata karena alasan ini menggunakan alqur’an. Terlebih jika hal ini dianggap sebagian ulama merupakan bagain dari pada ibadah, sehingga harus mengacu kepada sandaran dalil yang jelas.
Yang lebih selamat, para peruqyah adalah seorang yang ahli ruqyah dan juga seorang yang ‘alim (ahli agama) minimal menguasai ilmu agama yang mumpuni sehingga dirinya menjadi pelita ditengah umat, bukan sebagai lilin yang menerangi sekitarnya tetapi justru membakar dirinya. Oleh karena itu, sangat diperlukan koneksi antara roqi’ dengan assatidzah yang sudah diakui keilmuannya oleh para ulama, dan lebih utama lagi senantiasa berhubungan atau berkonsultasi dengan para ulama islam atau para ulama peruqyah. Bertanya dari masalah yang dihadapi, meminta nasehat untuk para peruqyah, berkonsultasi dari ke-syar’iyyan cara – cara ruqyah yang dilakukan sehingga tidak sedikitpun ragu dalam melakukannya karena ulama sudah berbicara tentang hal ini. Kalau kita jauh dari ulama, sementara ulama adalah pewaris nabi, maka kita akan mudah terombang – ambing dalam permainan syaitan. Syaitan tidak hanya menjebak kita didalam perkara keburukan, tetapi menjebak kita dalam perkara kebaikan atau yang kita anggap kebaikan. Apalagi pengobatan ruqyah yang merupakan front terdepan dalam menghadapi syaitan, sehingga permusuhan dan tipu daya syaitan kepada kita semakin besar.
Jangan sampai karena kejahilan kita, tanpa disadari seorang roqi menjadi dukun di sisi Allah karena semakin meluasnya improvisasi ruqyah yang dilakukan atau mencoba mengetahui hal – hal ghaib, mencari benda hilang atau dikarenakan terjebaknya ia dari jebakan syaitan yang ia rasa hal itu tidak mengapa seperti menuruti ucapan jin untuk melakukan sembelihan atau ibadah lainnya sehingga jin baru akan keluar dari tubuh pasiennya. Wal’iyadzubillah.
Kaderisasi atau sosialisasi atau traning ruqyah yang pada umumnya dilakukan untuk menggiring umat untuk mengenal ruqyah syar’iyyah, mau melakukan ruqyah mandiri dan tidak tergantung kepada peruqyah. Tetapi dengan hanya mengikuti 1 atau 2 kali training kemudian membuka praktek atau klinik atau langsung menangani masyarakat luas, terlalu dini untuk terjun langsung. Memang kita akui, kondisi masyarakat yang terkena fitnah perdukunan dan ulah para dukun yang kita anggap kondisinya urgent kemudian menyebabkan para roqi’ yang baru, langsung menceburkan diri ke masyarakat dan mengambil action untuk mencegah kesyirikan dan kemudian mensosialisasikan ruqyah syar’iyyah. Hal ini baik tetapi kita sebagai roqi’ harus bisa mengukur diri kita sendiri.
Yang terpenting walaupun menjadi roqi’ maka tetaplah menjadi thulabul ‘ilmi. Jangan sampai hanya hapal ayat – ayat ruqyah tetapi tidak hapal surat – surat lainnya. Hari demi hari, bulan demi bulan tidak ada progress kelimuannya agamanya, tidak ada progress hapalan qur’annya, tidak ada progress bacaan tajwidnya, tidak ada progress kemampuan bahasa arabnya. Sehingga kejahilan lah yang dipelihara. inilah yang sering dikhawatirkan para ulama, dengan terjun menjadi roqi’ atau peruqyah, tetapi malah jauh dari mempelajari imu agama. Semoga hal ini bermanfa’at bagi saya pribadi dan bagi para roqi’ lainnya. Wallahul musta’an.